Loading Now

Kontroversi Jam Malam Pelajar ala Dedi Mulyadi

Kontroversi Jam Malam Pelajar ala Dedi Mulyadi

Dedi Mulyadi, tokoh politik asal Jawa Barat yang dikenal dengan gaya blak-blakan dan pendekatan

budaya Sunda yang kental, kembali menjadi sorotan. Kali ini, ia memantik perdebatan publik lewat

gagasan “jam malam pelajar” yang ia canangkan di wilayah yang menjadi perhatiannya.

Ide ini sontak menuai tanggapan beragam, mulai dari dukungan total hingga kritik keras yang menyebutnya otoriter.

Kontroversi Jam Malam Pelajar ala Dedi Mulyadi
Kontroversi Jam Malam Pelajar ala Dedi Mulyadi

Apa Itu Jam Malam Pelajar?

Dalam konsep yang dipopulerkan Dedi Mulyadi, jam malam pelajar adalah aturan yang membatasi aktivitas pelajar di luar rumah setelah pukul 10 malam.

Tujuannya, menurut Dedi, adalah untuk menjaga generasi muda dari pengaruh buruk lingkungan malam hari seperti pergaulan bebas, kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, dan potensi tindakan kriminal.

Dedi menjelaskan bahwa jam malam bukan berarti pelajar tidak boleh keluar sama sekali

melainkan harus memiliki alasan yang jelas dan disertai pendampingan orang tua.

Patroli rutin oleh aparat pemerintah daerah, Satpol PP, dan komunitas lokal juga digagas untuk mendukung implementasi kebijakan ini.


Alasan Dedi Mulyadi: Demi Masa Depan Anak Bangsa

Menurut Dedi Mulyadi, ide ini lahir dari keprihatinan terhadap banyaknya pelajar yang berkeliaran hingga larut malam tanpa tujuan jelas.

Dalam beberapa unggahan media sosialnya, Dedi kerap membagikan momen saat dirinya menegur pelajar yang nongkrong di pinggir jalan atau warung kopi hingga tengah malam.

“Kalau malam itu waktunya istirahat. Anak sekolah itu harus belajar, tidur cukup, biar paginya semangat

dan berprestasi,” ujar Dedi dalam sebuah video yang viral di media sosial.

Ia menambahkan bahwa tanggung jawab membina anak bukan hanya tugas guru di sekolah, tapi juga masyarakat dan pemerintah.


Dukungan: Solusi untuk Kenakalan Remaja?

Sebagian kalangan, terutama para orang tua dan tokoh masyarakat, memberikan dukungan terhadap kebijakan ini.

Mereka menganggap jam malam sebagai bentuk kontrol sosial yang diperlukan di tengah krisis moral dan menurunnya disiplin generasi muda.

“Kalau tidak dibatasi, anak-anak bisa terjerumus ke hal-hal negatif.

Kebijakan ini bagus untuk menyelamatkan mereka dari godaan dunia malam,” ujar Ujang, seorang tokoh RT di Subang.

Banyak yang merasa bahwa jam malam juga bisa menjadi sarana memperkuat komunikasi dan perhatian orang tua terhadap anak-anak mereka.

Selain itu, ada pula yang mengaitkan kebijakan ini dengan peningkatan keamanan dan ketertiban lingkungan

terutama di daerah yang rawan konflik remaja atau geng motor.


Kritik: Otoriter dan Melanggar Hak Anak?

Namun, tidak sedikit pula yang menolak atau mengkritisi kebijakan jam malam ini.

Aktivis perlindungan anak dan organisasi masyarakat sipil menilai kebijakan tersebut berpotensi melanggar hak asasi anak

terutama hak untuk bergerak bebas dan berekspresi.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa pendekatan seperti ini harus

mempertimbangkan aspek edukatif, bukan hanya pendekatan represif. “Membatasi ruang gerak pelajar

tanpa pendekatan dialogis justru bisa menimbulkan trauma atau pemberontakan,” ujarnya.

Sebagian netizen juga menganggap kebijakan ini terlalu menggeneralisasi bahwa semua anak yang berada di luar malam hari pasti berbuat negatif.

Padahal, tidak sedikit pelajar yang harus pulang malam karena kegiatan sekolah, lomba, atau sekadar membantu orang tuanya berdagang.


Perspektif Pendidikan: Bukan Soal Jam, Tapi Nilai

Pakar pendidikan menyebut bahwa fokus utama pembinaan pelajar harusnya bukan pada pembatasan jam

melainkan pada pembentukan karakter dan nilai.

Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Dr. Nana Supriatna, mengatakan bahwa anak yang

memiliki nilai tanggung jawab, etika, dan disiplin diri akan tahu bagaimana mengatur waktunya, tanpa perlu takut akan patroli.

Ia menekankan pentingnya dialog terbuka antara anak, orang tua, dan guru untuk membentuk kesadaran, bukan sekadar aturan kaku.


Antara Niat Baik dan Eksekusi Bijak

Kontroversi jam malam pelajar ala Dedi Mulyadi mencerminkan tantangan besar dalam membina generasi muda di era modern.

Di satu sisi, niat menjaga anak-anak dari pengaruh buruk tentu patut diapresiasi.

Namun, di sisi lain, pelaksanaannya perlu mempertimbangkan prinsip hak anak, pendekatan yang manusiawi, serta keberagaman latar belakang sosial masyarakat.

Alih-alih menjadi alat kontrol yang kaku, kebijakan semacam ini idealnya didesain sebagai program komunitas yang bersifat edukatif dan partisipatif.

Pelibatan sekolah, orang tua, dan tokoh masyarakat lokal akan menjadi kunci keberhasilan dari upaya menjaga anak bangsa.

Baca juga:Modal Ponsel Perpanjangan SIM Bisa dari Rumah Lewat Aplikasi


Penutup

Dedi Mulyadi, dengan gaya khasnya, kembali berhasil mengangkat isu penting ke ruang publik.

Terlepas dari pro dan kontra, perdebatan soal jam malam pelajar ini membuka ruang diskusi luas tentang pola asuh

kebijakan publik yang pro-anak, serta masa depan generasi muda Indonesia.

Yang terpenting, semua pihak harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil berpihak pada tumbuh kembang anak yang sehat, aman, dan bermartabat.

Post Comment

saya bukan robot *Time limit exceeded. Please complete the captcha once again.