Pembahasan RUU KUHAP Kilat, YLBHI Bongkar 11 Ancaman HAM
Pembahasan RUU KUHAP Kilat, YLBHI Bongkar 11 Ancaman HAM
Pembahasan cepat Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) oleh DPR menuai sorotan tajam dari berbagai pihak, terutama lembaga-lembaga masyarakat sipil. Salah satu yang paling vokal adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang menilai bahwa proses revisi berlangsung kilat dan minim partisipasi publik. Tak hanya itu, YLBHI mengungkapkan adanya 11 poin krusial dalam RUU tersebut yang berpotensi menjadi ancaman serius terhadap hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Pembahasan Kilat dan Minim Transparansi
YLBHI menyoroti bahwa pembahasan RUU KUHAP berlangsung tanpa kajian mendalam dan tidak membuka ruang yang cukup untuk keterlibatan masyarakat. Padahal, perubahan terhadap KUHAP menyangkut jantung sistem peradilan pidana di Indonesia. Revisi yang dilakukan secara tergesa-gesa dikhawatirkan menghasilkan regulasi yang tidak berpihak pada keadilan dan kepastian hukum.
Proses pembahasan yang cepat ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai urgensi dan motivasi politik di baliknya. Banyak pihak khawatir bahwa revisi KUHAP justru akan melemahkan perlindungan terhadap warga negara.
11 Ancaman HAM Versi YLBHI
Dalam kajian yang dirilis ke publik, YLBHI membeberkan 11 pasal atau poin dalam RUU KUHAP yang dianggap berbahaya dan berpotensi melanggar HAM. Berikut adalah ringkasan dari sebelas poin tersebut:
-
Penyadapan Tanpa Mekanisme Kontrol – RUU memungkinkan penyadapan dilakukan tanpa pengawasan yudisial yang memadai.
-
Penahanan Seumur Hidup dalam Tahanan Rumah – Ancaman penggunaan tahanan rumah seumur hidup dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan.
-
Perpanjangan Penahanan yang Terlalu Lama – RUU memperbolehkan perpanjangan penahanan hingga batas waktu yang dianggap tidak manusiawi.
-
Minimnya Hak Pendampingan Hukum – Terdakwa bisa tidak mendapatkan pendampingan hukum dalam situasi-situasi tertentu.
-
Pemberlakuan Bukti Elektronik Tanpa Batasan – Alat bukti elektronik bisa digunakan tanpa mekanisme otorisasi dan validasi yang ketat.
-
Pemidanaan Berdasarkan Persepsi Ancaman – Beberapa pasal memungkinkan penindakan berdasarkan praduga atau dugaan semata.
-
Penguatan Wewenang Jaksa dan Polisi – Kewenangan aparat penegak hukum diperluas secara berlebihan, tanpa checks and balances.
-
Pengurangan Peran Hakim – Hakim tidak lagi menjadi satu-satunya penjaga keadilan dalam proses awal penyidikan.
-
Pemberian Kekuasaan Ekstra ke Penyidik – Penyidik diberikan keleluasaan mengambil keputusan penting tanpa kontrol pengadilan.
-
Pelanggaran Prinsip Praduga Tak Bersalah – RUU cenderung memposisikan tersangka sebagai pihak yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah.
-
Minimnya Perlindungan terhadap Korban Penyiksaan – Tidak ada mekanisme khusus untuk mencegah penyiksaan dalam proses penahanan.
Reaksi Publik dan Komunitas Hukum
Setelah kajian ini dirilis, gelombang kritik terhadap RUU KUHAP semakin kuat. Akademisi, praktisi hukum, dan organisasi masyarakat sipil menyuarakan hal serupa: bahwa revisi KUHAP seharusnya dilakukan secara terbuka, partisipatif, dan berpihak pada korban serta keadilan substantif.
Para pengamat menilai bahwa jika draf ini disahkan dalam bentuknya yang sekarang, maka sistem hukum pidana Indonesia akan mundur puluhan tahun ke belakang dalam hal perlindungan HAM dan prinsip due process of law.
Pemerintah dan DPR Diminta Tunda Pembahasan
YLBHI bersama sejumlah organisasi advokasi hukum meminta DPR dan pemerintah menunda pembahasan RUU KUHAP. Mereka mendesak dibukanya ruang dialog publik yang luas dan partisipatif, serta melakukan uji materi substansi pasal-pasal yang dinilai bermasalah.
Pemerintah diminta tidak sekadar mengejar target legislasi, melainkan memastikan bahwa revisi KUHAP benar-benar memperkuat sistem hukum, bukan sebaliknya.
Bahaya Revisi Tanpa Partisipasi
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa hukum yang dibuat tanpa partisipasi publik sering kali menciptakan ketidakadilan. Banyak pasal-pasal dalam KUHAP saat ini berasal dari warisan kolonial yang harus diperbarui, namun pembaruan itu seharusnya tidak dilakukan dengan terburu-buru dan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM.
Penutup: Perlu Reformasi Hukum yang Berkeadilan
Pembahasan RUU KUHAP adalah momen penting bagi Indonesia untuk memperbaiki sistem peradilan pidana. Namun, jika dilakukan tanpa pertimbangan yang matang dan partisipasi luas, revisi ini justru bisa menjadi bumerang bagi demokrasi. Pemerintah dan DPR perlu menunjukkan komitmen nyata terhadap prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia, bukan sebaliknya.
Baca juga:Yakin Ada Suap-Perintangan Hukum, Jaksa Minta Hakim Tolak Pleidoi Hasto
Post Comment