Loading Now

Pengamat Nilai RUU TNI Sebagai Legitimasi Perluasan Peran TNI

Pengamat Nilai RUU TNI

Pengamat Nilai RUU TNI Sebagai Legitimasi Perluasan Peran TNI yang tengah menjadi sorotan publik nasional dinilai oleh sejumlah kalangan sebagai upaya politik formal yang bertujuan untuk memberikan dasar hukum atas keterlibatan militer dalam berbagai institusi sipil yang selama ini telah berlangsung secara de facto. Salah satu pandangan kritis tersebut datang dari akademisi Universitas Nasional, Mego Widi Hakoso, yang dikenal sebagai pengamat kebijakan publik.

Dalam pernyataannya kepada kantor berita ANTARA, Jumat (tanggal sesuai konteks), Mego menyatakan bahwa momentum revisi ini sejatinya merupakan bagian dari manuver politik Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam memberikan legitimasi terhadap realitas keterlibatan anggota TNI aktif di jabatan sipil yang selama ini terjadi tanpa landasan hukum yang kuat.

“Revisi Undang-Undang TNI bukanlah semata-mata penyesuaian teknis, melainkan sebuah tindakan Cerdas4D yang mengafirmasi eksistensi peran militer di ranah sipil. Selama ini, realitas menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam berbagai jabatan sipil sudah berlangsung, dan saat ini upaya tersebut diformalkan melalui revisi perundang-undangan,” ujar Mego dalam wawancara khusus di Pekanbaru.

Pengamat Nilai RUU TNI Sebagai Legitimasi

Anggota Komisi I DPR Sebut 2 Substansi Utama Revisi UU TNI

Mego menilai, perkembangan arah revisi ini menunjukkan masih belum menyatunya pandangan politisi sipil terhadap pentingnya supremasi sipil dalam sistem demokrasi. Hal ini, menurutnya, mengindikasikan bahwa penguatan literasi mengenai politik dan peran militer menjadi kebutuhan mendesak di lingkungan akademik.

“Kita membutuhkan penguatan pemahaman di tingkat perguruan tinggi mengenai dinamika hubungan sipil-militer, termasuk pengenalan terhadap berbagai tipologi militer—baik yang bersifat revolusioner, profesional, maupun pretorian. Melalui pendidikan semacam ini, generasi muda dapat membangun argumen yang kuat dalam mempertahankan supremasi sipil yang merupakan inti dari sistem demokrasi modern,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa supremasi sipil adalah prinsip fundamental dalam negara demokrasi dan harus menjadi fondasi dalam setiap pembentukan kebijakan pertahanan nasional. Menurut Mego, praktik-praktik keterlibatan militer di sektor sipil harus dibatasi agar tidak bertentangan dengan semangat reformasi TNI yang telah berlangsung sejak era reformasi 1998.

Ketergantungan Politisi Sipil Terhadap Militer Dinilai Jadi Salah Satu Penyebab

Dalam konteks relasi antara sipil dan militer, Mego menyampaikan bahwa politisi sipil, setelah memperoleh kekuasaan, cenderung menjalin ketergantungan dengan institusi militer, baik untuk alasan operasional maupun politis. Ketergantungan ini, menurutnya, dapat dimaknai dalam dua dimensi: positif dan negatif.

“Dalam aspek positif, keterlibatan militer dapat dilihat dari perannya dalam penanggulangan bencana alam atau bantuan logistik darurat. Namun, di sisi lain, terdapat potensi penyalahgunaan fungsi militer, seperti pemanfaatan intelijen militer untuk kepentingan politik praktis atau pengamanan sektor bisnis tertentu yang strategis,” jelasnya.

Ia mengakui bahwa militer memiliki karakteristik organisasi yang berbeda dari birokrasi sipil. Struktur hirarkis yang kuat, ketersediaan personel dalam jumlah besar, dan peralatan lapangan yang memadai menjadikan militer sebagai lembaga yang mampu bergerak cepat dan efektif. Namun, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menormalkan dominasi militer di ruang-ruang sipil.

“Militer, dengan segala kelebihannya, tetap harus berada di bawah kendali sipil. Demokrasi yang sehat menuntut adanya pemisahan yang tegas antara urusan pertahanan dan tata kelola pemerintahan sipil,” imbuh Mego.

Ada Perluasan Cakupan Operasi Militer Selain Perang di RUU TNI, Ini Saran Pengamat  Militer

Reaksi DPR dan Penegasan Komitmen Terhadap Reformasi TNI

Sementara itu, menyikapi perkembangan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Anggota Komisi I DPR RI, Mayjen (Purn) TB Hasanuddin, menyampaikan pernyataan tegas agar Panglima TNI segera melakukan penyesuaian terhadap keberadaan prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 47 rancangan undang-undang tersebut.

“Saya menyerukan agar Panglima TNI segera mengeluarkan surat perintah bagi seluruh prajurit TNI aktif yang menduduki posisi di luar 14 kementerian dan lembaga yang diatur dalam undang-undang, untuk segera mengundurkan diri dari jabatan tersebut atau memasuki masa pensiun sesuai ketentuan yang berlaku,” ungkap Hasanuddin kepada awak media di Jakarta.

Baca Juga : Tindak Tegas Pengoplos Gas DPR Minta Aparat Hukum Terbuka

Ia menegaskan bahwa penyesuaian tersebut merupakan bagian dari upaya memperkuat profesionalisme TNI, serta memastikan bahwa reformasi internal TNI tetap berjalan di jalur yang tepat.

“Penempatan prajurit aktif di jabatan sipil harus didasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Reformasi TNI harus diarahkan untuk menjaga netralitas, meningkatkan kapabilitas pertahanan, serta menjauhkan militer dari arena politik dan birokrasi sipil yang seharusnya dijalankan oleh aparatur sipil negara,” ujar Hasanuddin.

Post Comment

saya bukan robot *Time limit exceeded. Please complete the captcha once again.

You May Have Missed